Mindfulness, maksudnya.

Mengutip Oxford Languages, kewawasan diartikan sebagai keadaan mental di mana seseorang fokus pada apa yang terjadi di masa kini—the present—sambil menerima dan mengakui perasaan, pikiran, sensasi yang terjadi pada tubuh, dan ini digunakan sebagai teknik terapeutik. Kurasa masih satu makna dengan frasa ‘to live in the moment’.

Dengan dunia yang berubah sejak dua tahun terakhir, terlintas pertanyaan di benak, “Kapan terakhir kali aku benar-benar wawas dengan apa yang sedang kulakukan?”

Sejak 2019—terdengar sudah lama sekali, ya. Apalagi mengingat bahwa ini tahun sebelum pandemi ada—konsep tempat di mana aku kerja adalah remote working alias aku bisa bekerja dari mana pun aku mau. Jujur saja, aku memang gak membayangkan diriku jadi orang yang bisa terus-terusan melakukan hal repetitif saban hari; bangun pagi, sarapan, berangkat ke dan kerja di kantor, pulang, tidur, dan melakukan yang sama keesokan harinya. Aku juga orang yang biasa-biasa saja dalam melakukan hal, medioker, dan gak ambisius (soalnya ada temanku yang bilang aku ambisius, padahal gak juga. Aku cuma melakukan pekerjaanku dengan standar yang aku tentukan sendiri). 

Mendapatkan pekerjaan pertama dengan konsep remote working jadi mimpi yang terealisasikan bagiku saat itu. Aku cuma cukup standby di depan laptop dari jam sembilan pagi hingga lima sore, seperti kebanyakan kantor biasa. Orang bilang pekerjaanku enak soalnya cuma cukup diam di rumah tapi bisa tetap berpendapatan. Padahal kenyataannya, ternyata, gak semudah itu.

Aku mesti dihadapkan dengan atasan yang selain micromanaging punya banyak bendera merah. Aku masih ingat setiap jam sembilan yang kupikirkan hanya, “Bakal ada marah-marah apalagi hari ini?” Belum lagi perasaan berkecamuk dan gak keruan setiap aku mendengar notifikasi WhatsApp yang harus segera dibalas. Kalau nggak, dia bakal ceramahi aku dan yang lain secara virtual dan bertanya, “Kalian lagi ngapain, sih?! Balas pesan gak butuh lima menit, lo.” Hanya saja dalam bahasa Inggris dengan aksen Singapura. 

Ah, masih banyak unek-unek pada mantan—syukurlah sudah mantan—atasanku itu yang kalau aku jabarkan di sini pasti bakal panjang banget. Percayalah, ketika aku tahu ada orang seperti dia aku jadi percaya wujud orang yang penuh dengan bendera merah itu ada. Positifnya? Kami (re: aku dan teman-teman satu tim) jadi cukup tahan banting walau kewarasan kami pernah dikorbankan.

Saat bekerja, jangankan jalan-jalan ke sana ke mari. Ibuku suka bilang, "Menoleh pun gak bisa," karena aku kelewat fokus pada apa yang sedang aku kerjakan. Waktu itu, pekerjaan yang diembankan pada kami gak pernah jelas kapan tenggat waktunya. Terkadang dia mau hari itu juga selesai atau kalimat, “It doesn’t take one hour to work on that, guys,” terlontar. Belum lagi dia yang suka tiba-tiba, “Let’s get on a call.” Tujuannya? Only God knows. Mau ngasih tugas baru atau mau rewel kenapa tugas yang baru diberikannya gak kunjung selesai. On God, gimana mau selesai kalau tiap menit ditanya, “Sudah selesai belum?”

Kebiasaan yang aku bilang barusan bikin aku gak terlalu bisa menikmati hal yang kulakukan di luar pekerjaan. Sesederhana minum air, misalnya. Boro-boro mau menikmati betapa enaknya air putih yang kutenggak, ingat untuk berdiri kemudian mengambil minum juga aku sudah bersyukur. Jangankan bisa menikmati tiap kunyahan makan siang, ingat makan siang juga sudah untung. Hal begini kadang masih terbawa hingga aku menulis draf kiriman ini.

Makan donat enak dengan wawas di Kyomi Space

Selain backstory barusan, kurasa cepatnya informasi yang beredar via ponsel pintar dan adanya kecenderungan jadi FOMO juga jadi salah satu faktor kenapa kewawasanku terkikis. “Kapan terakhir kali aku benar-benar menikmati apa yang sedang kulakukan?” Ironisnya, pertanyaan itu muncul saat aku lagi makan sembari nonton TikTok karena aku merasa makanan yang saat itu kutelan cuma ‘sekadar lewat di tenggorokan’. Makanan itu gak  seenak saat aku benar-benar fokus bahwa aku sedang melakukan aktivitas makan. Segera kututup ponselku dan live in the present; tanpa gangguan, cuma aku dan makananku, dan kujamin rasa makanan itu seketika jadi berbeda dan gak sekadar lewat di tenggorokan.

Dengan hidupku yang berubah hampir 180 derajat (setelah menjadi istri orang), aku masih suka kaget dengan hal yang kujalani hingga hari ini. Singkat cerita, aku resign dari kantor sebelumnya dan kini aku kerja di tempat baru walau yang berubah cuma tugasnya karena aku masih remote working. Ketika di kantor sebelumnya aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku minum, di kantor kali ini bahkan aku bisa melakukan hal yang aku mau sambil bekerja. Gak ada juga huru-hara atau drama marah-marahnya atasan yang kerap ada tiap pagi dan bikin sibuk seharian.

Bisa live in the moment, seize the day, or whatever you may want to call it, jujur, terasa aneh (dalam konotasi positif) bagiku. Punya hobi baru yang bisa kukerjakan di sela-sela menunggu balasan talent, masak, atau menyiapkan suami berangkat ke kantor tanpa tiba-tiba di-mention via WhatsApp yang bikin perasaan gak karuan dan ngerjain segala sesuatunya jadi rusuh. Walau sekarang aku berada di mode zen, gak jarang juga aku masih mengerjakan segala sesuatu sambil sesekali mengecek ponsel karena masih ada remahan ketakutan dari yang pernah kualami sebelumnya.

Sekarang, aku pelan-pelan membuang semua sisa ketakutan ini karena aku gak perlu tiba-tiba diajak call yang isinya marah-marah gak perlu nan menguras energi itu. Gak perlu juga mengerjakan sesuatunya terburu-buru karena benar kata Haemin Sunim, there are things you can see only when you slow down, dan itu setidaknya jadi wawas. Jadi, kusarankan di dunia yang serba cepat ini, wawas agar tetap waras.

(´。• •。`) ♡

Kewawasan

October 05, 2022

,

Mindfulness, maksudnya.

Mengutip Oxford Languages, kewawasan diartikan sebagai keadaan mental di mana seseorang fokus pada apa yang terjadi di masa kini—the present—sambil menerima dan mengakui perasaan, pikiran, sensasi yang terjadi pada tubuh, dan ini digunakan sebagai teknik terapeutik. Kurasa masih satu makna dengan frasa ‘to live in the moment’.

Dengan dunia yang berubah sejak dua tahun terakhir, terlintas pertanyaan di benak, “Kapan terakhir kali aku benar-benar wawas dengan apa yang sedang kulakukan?”

Sejak 2019—terdengar sudah lama sekali, ya. Apalagi mengingat bahwa ini tahun sebelum pandemi ada—konsep tempat di mana aku kerja adalah remote working alias aku bisa bekerja dari mana pun aku mau. Jujur saja, aku memang gak membayangkan diriku jadi orang yang bisa terus-terusan melakukan hal repetitif saban hari; bangun pagi, sarapan, berangkat ke dan kerja di kantor, pulang, tidur, dan melakukan yang sama keesokan harinya. Aku juga orang yang biasa-biasa saja dalam melakukan hal, medioker, dan gak ambisius (soalnya ada temanku yang bilang aku ambisius, padahal gak juga. Aku cuma melakukan pekerjaanku dengan standar yang aku tentukan sendiri). 

Mendapatkan pekerjaan pertama dengan konsep remote working jadi mimpi yang terealisasikan bagiku saat itu. Aku cuma cukup standby di depan laptop dari jam sembilan pagi hingga lima sore, seperti kebanyakan kantor biasa. Orang bilang pekerjaanku enak soalnya cuma cukup diam di rumah tapi bisa tetap berpendapatan. Padahal kenyataannya, ternyata, gak semudah itu.

Aku mesti dihadapkan dengan atasan yang selain micromanaging punya banyak bendera merah. Aku masih ingat setiap jam sembilan yang kupikirkan hanya, “Bakal ada marah-marah apalagi hari ini?” Belum lagi perasaan berkecamuk dan gak keruan setiap aku mendengar notifikasi WhatsApp yang harus segera dibalas. Kalau nggak, dia bakal ceramahi aku dan yang lain secara virtual dan bertanya, “Kalian lagi ngapain, sih?! Balas pesan gak butuh lima menit, lo.” Hanya saja dalam bahasa Inggris dengan aksen Singapura. 

Ah, masih banyak unek-unek pada mantan—syukurlah sudah mantan—atasanku itu yang kalau aku jabarkan di sini pasti bakal panjang banget. Percayalah, ketika aku tahu ada orang seperti dia aku jadi percaya wujud orang yang penuh dengan bendera merah itu ada. Positifnya? Kami (re: aku dan teman-teman satu tim) jadi cukup tahan banting walau kewarasan kami pernah dikorbankan.

Saat bekerja, jangankan jalan-jalan ke sana ke mari. Ibuku suka bilang, "Menoleh pun gak bisa," karena aku kelewat fokus pada apa yang sedang aku kerjakan. Waktu itu, pekerjaan yang diembankan pada kami gak pernah jelas kapan tenggat waktunya. Terkadang dia mau hari itu juga selesai atau kalimat, “It doesn’t take one hour to work on that, guys,” terlontar. Belum lagi dia yang suka tiba-tiba, “Let’s get on a call.” Tujuannya? Only God knows. Mau ngasih tugas baru atau mau rewel kenapa tugas yang baru diberikannya gak kunjung selesai. On God, gimana mau selesai kalau tiap menit ditanya, “Sudah selesai belum?”

Kebiasaan yang aku bilang barusan bikin aku gak terlalu bisa menikmati hal yang kulakukan di luar pekerjaan. Sesederhana minum air, misalnya. Boro-boro mau menikmati betapa enaknya air putih yang kutenggak, ingat untuk berdiri kemudian mengambil minum juga aku sudah bersyukur. Jangankan bisa menikmati tiap kunyahan makan siang, ingat makan siang juga sudah untung. Hal begini kadang masih terbawa hingga aku menulis draf kiriman ini.

Makan donat enak dengan wawas di Kyomi Space

Selain backstory barusan, kurasa cepatnya informasi yang beredar via ponsel pintar dan adanya kecenderungan jadi FOMO juga jadi salah satu faktor kenapa kewawasanku terkikis. “Kapan terakhir kali aku benar-benar menikmati apa yang sedang kulakukan?” Ironisnya, pertanyaan itu muncul saat aku lagi makan sembari nonton TikTok karena aku merasa makanan yang saat itu kutelan cuma ‘sekadar lewat di tenggorokan’. Makanan itu gak  seenak saat aku benar-benar fokus bahwa aku sedang melakukan aktivitas makan. Segera kututup ponselku dan live in the present; tanpa gangguan, cuma aku dan makananku, dan kujamin rasa makanan itu seketika jadi berbeda dan gak sekadar lewat di tenggorokan.

Dengan hidupku yang berubah hampir 180 derajat (setelah menjadi istri orang), aku masih suka kaget dengan hal yang kujalani hingga hari ini. Singkat cerita, aku resign dari kantor sebelumnya dan kini aku kerja di tempat baru walau yang berubah cuma tugasnya karena aku masih remote working. Ketika di kantor sebelumnya aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku minum, di kantor kali ini bahkan aku bisa melakukan hal yang aku mau sambil bekerja. Gak ada juga huru-hara atau drama marah-marahnya atasan yang kerap ada tiap pagi dan bikin sibuk seharian.

Bisa live in the moment, seize the day, or whatever you may want to call it, jujur, terasa aneh (dalam konotasi positif) bagiku. Punya hobi baru yang bisa kukerjakan di sela-sela menunggu balasan talent, masak, atau menyiapkan suami berangkat ke kantor tanpa tiba-tiba di-mention via WhatsApp yang bikin perasaan gak karuan dan ngerjain segala sesuatunya jadi rusuh. Walau sekarang aku berada di mode zen, gak jarang juga aku masih mengerjakan segala sesuatu sambil sesekali mengecek ponsel karena masih ada remahan ketakutan dari yang pernah kualami sebelumnya.

Sekarang, aku pelan-pelan membuang semua sisa ketakutan ini karena aku gak perlu tiba-tiba diajak call yang isinya marah-marah gak perlu nan menguras energi itu. Gak perlu juga mengerjakan sesuatunya terburu-buru karena benar kata Haemin Sunim, there are things you can see only when you slow down, dan itu setidaknya jadi wawas. Jadi, kusarankan di dunia yang serba cepat ini, wawas agar tetap waras.

(´。• •。`) ♡

One Chocolate Eater